Rabu, 15 Januari 2020

Skema Penilaian Baru Tantangan Berat Peningkatan Mutu Pendidikan



Oleh: Nelson Sihaloho

Rasional
Tahun 2020 merupakan tahun terakhir pelaksanaan Unjian Nasional (UN) dan beredar rumor bahwa sebagai pengganti UN Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan akan menerbitkan bentuk skema penilaian baru untuk mengukur kompetensi siswa dengan metode assesmen kompetensi.

 Bentuk ujian tersebut bakal dilakukan terhadap siswa yang berada di tengah jenjang sekolah, yakni kelas IV, VIII, dan XI. Apabila kita menelaah lebih lanjut arah kebijakan akan mengacu pada praktik baik pada level internasional sebagaimana metode asesmen Programme for International Student Assessment (PISA) dan Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS).

Masalahnya apakah konsep asesmen kompetensi pengganti ujian nasional tersebut akan mampu meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan kita?.  Sebagaimana diketahui bahwa PISA merupakan sistem ujian yang diinisiasi oleh Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) guna mengevaluasi sistem pendidikan di seluruh dunia.

  PISA pertama kali diselenggarakan pada tahun 2000 untuk membantu negara-negara dalam mempersiapkan sumber daya manusia (SDM) agar memiliki kompetensi yang sesuai dengan yang diharapkan dalam pasar internasional.  Sedangkan TIMSS adalah studi internasional tentang kecenderungan atau arah dan perkembangan matematika dan sains. 

Tujuannya adalah meningkatkan pengajaran dan pembelajaran matematika dan IPA dengan cara menyediakan data tentang prestasi siswa dalam kaitannya dengan bentuk kurikulum, praktik pengajaran, dan lingkungan sekolah yang berbeda-beda.
Kata kunci: skema, penilaian, mutu dan pendidikan

PISA dan TIMSS
Sebagaimana program penilaian yang sudah dilakukan bahwa subjek asesmen PISA terdiri atas tes literasi dasar dalam bidang membaca, matematika, dan sains tanpa melihat pada kurikulum nasional. Sasaran hanya diujikan kepada siswa yang berusia 15 tahun melalui random sampling. Sasaran subjek dan objek inilah yang diyakini oleh seluruh dunia memiliki legitimasi yang kuat dalam menggambarkan kualitas pendidikan di suatu negara. Indonesia menjadi partisipan PISA sejak tahun 2000 serta perlu mengubah kebijakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan bangsa dengan asumsi bahwa meningkatkan kualitas pendidikan akan sama dengan meningkatkan skor PISA. 
PISA merupakan bagian dari program OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development), sebuah organisasi yang fokus pada kerja sama dan pembangunan ekonomi. PISA adalah program berkelanjutan yang menawarkan wawasan untuk kebijakan dan praktik pendidikan dan juga membantu memantau tren dalam perolehan pengetahuan, keterampilan siswa di seluruh negara serta berbagai subkelompok demografis pada masing-masing negara. 

Mengutip teori globalisasi Robert Reich (Anwar:2009) bahwa globalisasi telah membuat negara memiliki ketergantungan semakin tinggi kepada warganya yang memiliki kecakapan dan pengetahuan di pasar global yang kemudian akan ditandingkan di ranah internasional dengan membawa nama negaranya.  Keikutsertaan Indonesia di dalam studi International Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) dan Program for International Student Assessment (PISA) sejak tahun 1999 juga menunjukkan bahwa capaian anak-anak Indonesia tidak menggembirakan dalam beberapa kali laporan yang dikeluarkan TIMSS dan PISA. Hal ini disebabkan antara lain banyaknya materi uji yang ditanyakan di TIMSS dan PISA tidak terdapat dalam kurikulum Indonesia.TIMSS diselenggarakan oleh International Association for the Evaluation of Educational Achievement (IEA), berkedudukan di Amsterdam, Belanda. Institusi ini merupakan lembaga internasional independen bekerja sama dengan agen-agen pemerintah di negara-negara partisipan. Pusat Pengolahan Data IEA berada di Hamburg, Pusat Statistik di Ottawa Kanada, dan Layanan Evaluasi Pendidikan di Princenton, New Jersey. Biaya yang digunakan dalam studi ini sebagian besar diperoleh dari Amerika Serikat (AS), Bank Dunia, dan negaranegara partisipan. Itulah sebabnya SDM yang bermutu merupakan faktor penting dalam pembangunan di era globalisasi saat ini.

 Pengalaman di banyak negara menunjukkan, SDM yang bermutu lebih penting dari pada sumber daya alam yang melimpah. Akan tetapi, beberapa dekade terakhir ini, daya saing bangsa Indonesia di tengah bangsa-bangsa lain cenderung kurang menggembirakan.

 Salah satunya, tercermin dalam perbandingan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). SDM bermutu hanya dapat diwujudkan dengan pendidikan yang bermutu. Mengutip Ormrod (2011), menyatakan bahwa belajar sebagai sebuah perubahan yang panjang representasi mental atau asosiasi sebagai hasil dari pengalaman. Hal ini sejalan dengan pendapat Woolfolk (2007), bahwa belajar terjadi akibat dari pengalaman yang menyebabkan perubahan yang relatif ”permanent” pada pengetahuan atau perilaku seseorang.  Prestasi belajar siswa  akan lebih baik bila pelajar memiliki pola belajar yang teratur setiap harinya daripada tidak memiliki pola belajar dan hanya belajar pada waktu-waktu tertentu yang dianggap perlu (Gustian, 2002). 

Hadapi Tantangan Berat
Proses pembelajaran dengan aplikasi TIK berbasis internet dengan bahan ajar digital menyebabkan terjadinya pergeseran proses belajar mengajar (PBM) dari yang biasa dilakukan guru. Mengutip Rosenberg menyebutkan lima pergeseran yakni: pergeseran dari pelatihan ke penampilan, pergeseran dari ruang kelas ke dimana dan kapan saja PBM dapat dilaksanakan, pergeseran dari kertas ke digital dan online sehingga paperless atau tanpa kertas, pergeseran dari fasilitas fisik ke fasilitas jaringan kerja atau populer dengan sebutan network, dan dari waktu siklus ke waktu nyata.  PBM mendatang bersifat memandirikan siswa dalam mengeksplorasi rasa keingintahuan mereka dengan pendekatan memecahkan masalah yang diberikan guru. Askew dan Carnell menyatakan bahwa belajar yang efektif itu terjadi jika belajar itu sendiri merupakan perubahan, artinya belajar itu mengubah cara kita menerima sesuatu dan pengalaman hidup kita.  

Era abad 21 menuntut pengetahuan dan keterampilan baru. Guru dalam memasuki era digital tersebut, kita dituntut dan perlu mahir dalam informasi. Sejalan dengan hal tersebut Spires& Bartlet (2012) menyatakan bahwa untuk menelusuri informasi para pembelajar perlu dibekali dengan keterampilan dan strategi baru terkait dengan jenis keterampilan literasi.  
Perubahan yang dramatik dalam aplikasi pendidikan telah mengalami perluasan dalam praktik teknologi informasi di seluruh dunia (Seels & Richey, 1994). Belajar di era digital menjadi sebuah peluang atau kesempatan bagi pebelajar ketika ia mampu mendayagunakan teknologi baru. Sebagaimana dikemukakan oleh Cristl & Winter (2013) bahwa dalam era digital apa yang telah kita lakukan tersebut direkam, dimonitor atau dilacak dimana pun keberadaan kita. Kemajuan teknologi baru ini telah mengubah bagaimana teknologi digunakan dengan baik untuk meningkatkan dan mengembangkan potensi-potensi pebelajar, yang dalam definisi teknologi terbaru facilitating learning and improving performance, meningkatkan unjuk kerja pembelajar. Kita sebagai guru memiliki pandangan bahwa teknologi berhubungan yang sangat mendasar dengan bagaimana teknologi dan media tersebut digunakan dan apa yang perlu menjadi pertimbangan kita agar mendukung keberhasilan (Kirkwood & Price, 2012). Kirkwood (2009) juga menyampaikan saran-saran bahwa teknologi pembelajaran memungkinkan menjalankan satu atau lebih dari fungsi-fungsi yakni presentasi, menyampaikan bahan-bahan dan sumber-sumber seperti teks, data, bunyi, gambar diam dan gerak dan sebagainya yang disediakan untuk keperluan pembelajar baik yang dirancang sebelumnya. 

Interaksi, memungkinkan para pebelajar terlibat secara aktif berinteraksi dengan sumber-sumber, untuk menggunakan dan melacak informasi atau data dan sebagainya. 
Dialog, memfasilitasi terjadinya komunikasi antara pembelajar dan pebelajar, antar pebelajar untuk melakukan diskusi, kerja sama, kolaborasi, dan sebagainya. Kemudian kegiatan yang menghasilkan sesuatu (generative activity) yaitu berbagai aktivitas yang disediakan bagi pebelajar untuk kegiatan-kegiatan perekaman, menciptakan, mengumpulkan, menyimpan dan mengungkap kembali unsur-unsur (seperti teks, data, gambar, grafis, bagan dan sebagainya) dalam merespon berbagai aktivitas belajar dan tugas untuk membuktikan pengalaman dan kemampuan mereka. 

Memasuki revolusi digital bangsa ini memerlukan guru-guru yang unggul. Guru-guru yang sukses dan unggul dengan cerdas memanfaatkan teknologi digital yang sesuai atau cocok dengan strategi pembelajaran yang digunakan dalam proses pembelajaran mengingat tidaklah cukup hanya mengandalkan strategi pembelajaran saja. 

Mengutip Hassel & Hassel (dalam Finn & Fairchild, 2012) menyatakan guru perlu memanfaatkan secara bijaksana teknologi yang sesuai serta dituntut agar mampu memotivasi siswa menghadapi tantangan masa depan.

 Membantu siswa mengelola waktu dan tugas, membangun kecakapan social dan emosional siswa, membimbing dan memberikan contoh kecakapan hidup. Selanjutnya adalah menyajikan situasi personal dan dikenal siswa, membantu siswa menggali dan mengembangkan keterampilan berpikir tingkat tinggi serta  mengambil tanggung jawab demi menjamin hasil belajar siswa. 

Harus Siap Mental
Abad ke-21, pendidikan dituntut untuk bisa semakin maju dan mudah diakses oleh semua kalangan salah satunya adalah menghadapi revolusi industri berbasis digital. Salah satu tantangan industri 4.0 dalam dunia pendidikan adalah inovasi pembelajaran. Tantangan pendidikan dalam era ini adalah bagaimana mempersiapkan guru dalam pemanfaatan teknologi saat ini serta memaksimalkan kemampuan yang dimiliki guru dalam menggunakan peralatan teknologi terkini. Teknologi secara umum  merupakan alat, mesin, cara, proses, kegiatan ataupun gagasan yang dibuat untuk mempermudah aktifitas manusia dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu hal yang harus dipersiapkan dalam menghadapi revolusi industri 4.0 adalah persiapan SDM yang responsif, adaptif dan handal untuk menghadapi revolusi industri.  Solusi dari tantangan Pendidikan yang akan kita hadapi adalah guru harus siap memanfaatkan teknologi terkini termasuk memaksimalkan kemampuan yang dimilikinya.

 Kemampuan itu adalah kemampuan menggunakan teknologi sehingga mampu mendampingi dan mengajarkan siswa tentang bagaimana memanfaatkan teknologi. 

Memiliki keterampilan teknologi juga harus diiringi dengan pemahaman bahwa teknologi dimanfaatkan untuk memperoleh hasil belajar yang positif. Peralatan yang memadai tidak akan berguna apabila tidak diiringi dengan SDM yang mampu memanfaatkannya. Karena itu guru harus segera menyiapkan mental menjadi tenaga pendidik profesional yang mampu mengunakan e-learning dalam menyiapkkan generasi milineal yang kompeten.

 Solusi lain untuk menjawab tantangan pendidikan pada revolusi industri 4.0 yaitu siswa bukan hanya mampu memanfaatkan teknologi, tetapi juga mampu kompeten dalam kemapuan literasi, berpikir kritis, memecahkan masalah, komunikasi, kolaborasi, dan memiliki kualitas karakter yang baik. 
Penilaian Pendidikan Karakter 
Sebagaimana kita ketahui bahwa penilaian model adalah konstruksi yang bersifat teoretis dari konsep. Dalam kegiatan kurikulum, model merupakan ulasan teoretis tentang proses pengembangan kurikulum secara menyeluruh atau dapat juga hanya merupakan ulasan tentang salah satu komponen kurikulum. 

 Di tinjau dari sudut bahasa, penilaian diartikan sebagai proses menentukan nilai suatu objek. Untuk dapat menentukan suatu nilai atau harga suatu objek di perlukan adanya ukuran atau kriteria. Penilaian (assesment) memiliki makna yang berbeda dengan evaluasi. The Task Group and Testing (TGAT) mendreskripsikan assesment sebagai semua cara yang di gunakan untuk menilai unjuk kerja individu atau kelompok.

 Ahli pendidikan bernama Popham mendefenisikan asesmen dalam konteks pendidikan sebagai sebuah usaha secara formal untuk menentukan status siswa berkenaan dengan berbagai kepentingan pendidikan. 

Mengutip pendapat Boyer&Ewel mendefenisikan asesmen sebagai proses yang menyediakan informasi tentang individu siswa, tentang kurikulum atau program, tentang institusi atau segala sesuatu yang berkaitan dengan sistem institusi. Ditemukan banyak makna atau definisi terkait dengan istilah penilaian. Mengutip Griffin dan Nix juga mendefinisikan penilaian sebagai suatu pernyataan berdasarkan sejumlah fakta untuk menjelaskan karakteristik seseorang atau sesuatu. 

Sedangkan Black dan William pakar pendidikan dari King College, London mendefinisikan penilaian sebagai seluruh kegiatan yang di laksanakan oleh guru dan para siswanya dalam menilai diri sendiri, yang kemudian digunakan sebagai informasi yang dapat digunakan sebagai umpan balik untuk mengubah, membuat modifikasi kegiatan pembelajaran. Penilaian (assesment) adalah penerapan berbagai cara dan penggunaan beragam alat penilaian untuk memperoleh informasi tentang sejauh mana hasil belajar peserta didik atau ketercapaian kompetensi (rangkaian kemampuan) peserta didik. 

Penilaian menjawab pertanyaan tentang sebaik apa hasil atau prestasi belajar seorang peserta didik. Hasil penilaian dapat berupa nilai kualitatif dan nilai kuantitatif. Pendidikan karakter, adalah upaya sadar dan terencana dalam proses pembimbingan dan pembelajaran bagi individu agar tumbuh berkembang menjadi manusia yang mandiri, bertanggung jawab, kreatif, berilmu, sehat dan berakhlak (berkarakter) mulia. Dalam bahasa Indonesia “karakter” diartikan sebagai tabiat, sifatsifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain.

Thomas Lickona yaitu: character as “knowing the good, desiring the good, and doing the good (mengetahui kebaikan, menginginkan kebaikan, dan melakukan segala sesuatu yang baik). Bahwa model penilaian pendidikan karakter adalah suatu teori atau konsep yang berisikan tentang kegiatan menafsirkan atau memaknai data hasil suatu pengukuran proses pembelajaran individu agar tumbuh berkembang menjadi manusia sesuai dengan karakter, atau akhlak yang dapat membedakan antar individu dengan yang lainnya. 

Guru adalah semua orang yang berwenang dan bertanggung jawab untuk membimbing dan membina anak didik, baik secara individual maupun klasikal, di sekolah maupun di luar sekolah. Bahwa model penilaian pendidikan karakter oleh guru di sekolah merupakan sebuah kegiatan yang dilakukan oleh guru setelah proses pembelajaran berlangsung guna mengumpulkan informasi hasil belajar siswa, untuk menafsirkan atau memaknai data hasil pengukuran serta untuk mengetahui kompetensi yang telah di miliki oleh peserta didik dengan menggunakan konsep atau kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam penilaian. Implementasi pendidikan karakter di sekolah dalam garis besar menyangkut tiga fungsi manajerial, yaitu perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian.

 Tantangan terberat guru berada pada fungsi ke tiga, yaitu pengendalian, yang sering juga di sebut penilaian dan pengendalian, bertujuan menjamin kinerja yang dicapai agar sesuai dengan rencana dan tujuan yang telah di tetapkan. Penilaian dan pengendalian merupakan salah satu aspek penting dalam pendidikan karakter, agar sebagian besar peserta didik dapat membentuk kompetensi dan karakter yang diharapkan secara optimal, karena banyaknya peserta didik yang mendapat nilai rendah, di bawah standar, atau berprilaku yang tidak sesuai dengan norma kehidupan akan mempengaruhi efektifitas pendidikan karakter secara keseluruhan. 

Oleh karena itu dalam implementasi pendidikan karakter di sekolah, pengendalian dan penilaian harus dilakukan secara terus-menerus dan berkesinambungan, untuk mengetahui dan memantau perubahan serta kemajuan peserta didik, maupun untuk memberi skor, angka atau nilai yang biasanya di konversi dalam penilaian hasil belajar. Penilaian pendidikan karakter dapat dilakukan dengan berbagai model, seperti observasi, anecdotal record, wawancara, benchmarking, portofolio, skala bertingkat, dan evaluasi diri. Unsur-unsur pendidikan karakter yang akan direncanakan, dilaksanakan, dan dikendalikan tersebut, antara lain nilai-nilai karakter kompetensi lulusan; muatan kurikulum nilai-nilai karakter; nilai-nilai karakter dalam pembelajaran; nilai-nilai karakter pendidikan dan tenaga kependidikan serta nilai-nilai karakter pembinaan kesiswaan. 

Pendidikan karakter yang sangat sarat dengan nilai, sangat di anjurkan untuk melakukan penilaian proses secara terus-menerus, dan mengungkap aspek-aspek yang tidak dapat dilacak dengan baik tanpa pengamatan apakah hasil penilaian yang di lakukan oleh guru sudah menunjukan perubahan dalam diri siswa. 

Tentunya dengan peniadaan UN Tahun 2021 dan pemberakuan skema penilaian baru yaitu assesmen dan pendidikan karakter tantangan berat guru dalam mengemban misi peningkatan kualitas mutu Pendidikan semakin berat. Selain proses penilaian akan terus berlanjut dan tidak boleh asal-asalan kelak hasil penilaian yang dilakukan oleh guru secara otonomi dan komprehensif juga akan diuji oleh lembaga lain. Karena itu tantangan berat guru pada akhirnya adalah apakah produk lulusan dan penilaian yang telah diberikan terhadap siswa telah sesuai dengan kompetensinya. 

Berbicara soal itu waktulah yang kelak akan menjawabnya apakah sistem penilain UN dan skema penilaian assesmen dan penilaian karakter  mutu pendidikan kita jauh lebih baik atau sebaliknya. (dihimpun dari berbagai sumber

 Penulis adalah guru SMP Negeri 11 Kota Jambi). 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar