Jumat, 24 Januari 2020

Merdeka Belajar dan Penguatan Kearifan Lokal

Oleh: Nelson Sihaloho

Rasional
Kehadiran teknologi dan informasi saat ini  mengharuskan para pemangku kepentingan dalam dunia pendidikan bersinergi untuk menyiapakan generasi yang mampu berkompetisi tanpa melupakan budaya lokal. Sebagaimana dikemukan sejumlah pakar misalnya Patrick (2012), merumuskan ada sepuluh keterampilan abad 21 yang mesti dipelajari dan dikuasi manusia, di antaranya citizenship (local and global) yang merupakan bagian keterampilan living in the world. Kearifan lokal terbentuk sebagai proses interaksi antara manusia dengan lingkungannya dalam rangka memenuhi berbagai kebutuhannya. Proses-proses terbentuknya kearifan lokal sangat bergantung kepada potensi sumberdaya alam dan lingkungan serta dipengaruhi oleh pandangan, sikap, dan perilaku masyarakat setempat terhadap alam dan lingkungannya. Kearifan lokal berbeda-beda di setiap daerah dan di dalamnya terkandung berbagai norma dan nilai religius tertentu. 

Ilmu pendidikan berkembang dengan pesat yang disertai kemajuan teknologi digital berdampak besar terhadap segala bidang, termasuk pendidikan. Dampak kemajuan teknologi digital yang semakin pesat tersebut juga berpengaruh terhadap pendidikan dan pembelajaran yang cepat karena kemunculan teknologi digital dan jaringan global. Belajar diperlukan oleh individu manusia akan tetapi belajar juga harus dipahami sebagai sesuatu kegiatan dalam mencari dan membuktikan kebenaran. Dalam praktek proses belajar atau pembelajaran akan menghasilkan suatu kondisi di mana individu dalam hal ini siswa dan guru, siswa dengan siswa atau interaksi yang kompleks yang akan ditemukan suatu proses komunikasi. Pemahaman akan belajar yang ditinjau dari aspek sosiologis inilah yang sangat dibutuhkan dewasa ini sebagai landasan utama merdeka belajar. 

Merdeka belajar sejatinya harus memberikan kesempatan yang seluas-luasnya terhadap insan manusia khususnya peserta didik menggali nilai-nilai kearifan lokal yang ada di masyarakat. Masalahnya sekarang akankah program merdeka belajar memiliki relevansi terhadap kemampuan peserta didik dalam memahami nilai-nilai kearifan lokal sebagai  modal jati diri bangsa yang sesungguhnya.
Kata kunci: belajar, kearifan lokal

Penguatan Budaya Lokal 
Arus globalisasi, modernisasi serta ketatnya puritanisme dikhawatirkan dapat mengakibatkan terkikisnya rasa kecintaan terhadap budaya lokal. Akibatnya kebudayaan lokal yang merupakan warisan leluhur terlupakan oleh budaya asing, tereliminasi di kandangnya sendiri dan seakan tidak dipedulikan oleh para pewarisnya. Sebagai wahana utama dalam pembangunan bangsa dan watak (nation and character building), pendidikan dituntut untuk memberikan perhatian yang sungguh-sungguh terhadap pengembangan diri manusia Indonesia dalam keseluruhan dimensinya. 

 Pendidikan karakter sangat penting dalam mengembangan karakteristik peserta didik dalam menjalankan kehidupannya dalam dunia pendidikan dan masyarakat. 
Kendati demikian, seorang guru tetap tidak boleh lepas tangan dalam membimbing peserta didik untuk tetap mengenal karekteristik anakdidiknya. Kearifan lokal sangat diperlukan dalam pendidikan, karena mengandung nilai-nilai kebaikan yang abadi dalam hubungannya dengan relasi keluarga, tetangga maupun masyarakat lain. 

Peran kearifan lokal secara kritis mengubah dan membentuk budaya lokal menjadi bermakna dan sesuai dengan kehidupan sosial dan budaya masyarakat (Ghufronudin, dkk, 2017: 31). Mengutip Wahab (Rukiyati & Purwastuti, L. Andriani, 2016: 132),  menyatakan bahwa masyarakat pendukung nilai-nilai budaya dan beberapa diantaranya dapat dikategorikan sebagai local genius atau local knowledge dapat menjadi sumber nilai bagi masyarakat pendukungnya. 
Persoalannya saat ini adalah lemah dan rapuhnya moral generasi bangsa baik di lingkup nasional maupun daerah. Hal ini ditandai dengan berbagai persoalan yang membelit kaum remaja, sebut saja pergaulan bebas, tawuran dan beragam perilaku menyimpang lainnya. Melihat perilaku remaja yang menyimpang itu, membuat para pemangku dunia pendidikan berbenah, salah satu diantaranya adalah mempersiapkan kurikulum yang relevan dan sesuai dengan konteks tuntutan zaman.

 Berkaitan dengan itu daerah juga harus mampu berkreasi dan memberikan andil terhadap pengembangan kurikulum agar pendidikan yang sesuai konteks daerah dan budaya lokal tidak terkesampingkan. Untuk menghadapi masifnya perkembangan teknologi informasi dan menglobalnya budaya modern yang keberadaanya terus menggerus budaya local para stakeholders perlu ikut andil membuat konsep dan mengaplikasikan kurikulum lokal yang berbasiskan nilai-nilai budaya lokal.

Mengutip Pearson-Learning Curve Report (2014), out put pendidikan harus memiliki keterampilan abad 21 yang meliputi leadership, digital literacy, communication, emotional intelligence, entrepreneurship, global citizenship, problem solving and team working.
Pendidikan karakter bertujuan membantu perkembangan jiwa anak-anak baik lahir maupun batin, dari sifat kodratinya menuju ke arah peradaban yang manusiawi dan lebih baik. Pembentukan karakter  untuk menyiapakan generasi ke depan yang cerdas dan terampil merupakan suatu keharusan, namun kecerdasan intelektual tanpa diiringi penguasaan nilai-nilai moral dan budaya luhur akan melahirkan generasi yang pincang, rapuh dan terombang-ambing derasnya arus globalisasi.

Kearifan Lokal
Kearifan lokal merupakan produk pemikiran, pandangan hidup, perilaku, kebiasaan, dan produk lainnya yang dihasilkan oleh masyarakat tertentu yang menunjukkan jati diri dan kekhasan masyarakat tersebut. Mengutip Geertz, 1973 (Wagiran: 2012:331) menyatakan “Local wisdom is part of culture. Local wisdom is traditional culture element that deeply rooted in human life and community that related with human resources, source of culture, economic, security and laws. lokal wisdom can be viewed as a tradition that related with farming activities, livestock, build house etc”.  Cheng (2002: 33) menyatakan bahwa pengembangan pembelajaran membutuhkan pengetahuan lokal yang menuntut adanya kontribusi sekolah yang dapat dilakukan dengan penyebaran kultur dan pengembangan kultur dalam konteks lokal. Sejalan dengan hal itu Tawil (2013: 4) menyatakan bahwa sistem pendidikan berkontribusi dalam menempa aspek lokal dan global dengan meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan nilai yang mendorong siswa untuk mengidentifikasi, memahami, dan menyadari, serta berkomitmen untuk menerapkan aspek lokal dan global. Kearifan lokal merupakan salah satu bagian dari konten budaya lokal. Cheng (2002:33) menyebutkan bahwa internalisasi konten budaya lokal dapat dilakukan dengan cara memasukkan norma eksplisit, nilai-nilai kearifan lokal yang penting, harapan masyarakat budaya lokal, dan juga memaparkan konsep pentingnya persatuan antarsub kultur yang ada di suatu negara. 

Kearifan lokal yang abstrak lebih bersifat pemikiran atau konsep tertentu, seperti agama, ideologi, dan keyakinan-keyakinan. Robinson (1988) membedakan kearifan lokal menjadi dua kategori, yaitu kearifan lokal internal dan kearifan lokal eksternal. Kearifan lokal internal berisi pandangan hidup, ideologi, dan pemikiran, sedangkan kearifan lokal eksternal berwujud perilaku dan kesusastraan. Kearifan lokal internal lebih bersifat abstrak, sedangkan kearifan lokal eksternal lebih bersifat konkret dan dapat diamati. UNESCO medefenisikannya yakni penggalian kearifan lokal sebagai dasar pendidikan karakter dan pendidikan pada umumnya, akan mendorong timbulnya sikap saling menghormati antaretnis, suku, bangsa dan agama, sehingga keberagaman terjaga dengan baik (Agus:2015:12-23). 
Kearifan lokal merupakan gagasan atau pandangan, pengetahuan, kepercayaan, nilai, norma, moral, dan etika, kelembagaan (melibatkan norma, praktik atau tindakan berpola, organisasi), dan teknologi yang menyumbang kepada tercipta dan tetap terpeliharanya kondisi tatanan kehidupan masyarakat di berbagai bidang, kemajuan, dan terjaganya kondisi ekosistem lingkungan dan sumberdaya sehingga pemanfaatannya oleh kelompok ataunkomunitas manusia di situ (sebagai salah satu komponen ekosistem) berlangsung secara berkesinambungan. 

Merdeka Belajar dan Kearifan Lokal 
Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus menerus dijadikan pegangan hidup. Secara umum maka local wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Kearifan lokal adalah bentuk warisan peradaban yang dilakukan secara terus menerus dari generasi, ke generasi.  Bahkan kearifan lokal dianggap mampu untuk mengendalikan berbagai pengaruh dari luar. 

Kearifan lokal biasanya menyangkut nilai dan moral pada masyarakat setempat, kearifan lokal tidak tertuliskan namun tetap diakui sebagai kekayaan dalam berbagai segi pandangan hukum dan kearifan lokal ialah bentuk sifat yang melekat pada seseorang berdasarkan pada asalnya serta memiliki multi dimensi. Mengutip Mitchell, (2003) kearifan lokal memiliki enam dimensi, yaitu dimensi pengetahuan lokal, dimensi nilai lokal, dimensi keterampilan lokal, dimensi sumber daya lokal, dimensi mekanisme pengambilan keputusan local serta dimensi solidaritas kelompok lokal. Perkembangan teknologi global berdampak terhadap eksistensi kearifan lokal dan pola pikir manusia. Karena itu terjadi benturan kepentingan dengan upaya mempertahankan kearifan lokal. Upaya untuk menumbuhkan kesadaran yang mendalam terhadap keberadaan kearifan lokal perlu adanya peningkatan pengetahuan setiap manusia dan menginternalisasikan kearifan lokal ke dalam setiap hati sanubari manusia. Dunia saat ini memasuki masa yang disebut era globalisasi serta globalisasi membuat banyak hal semakin mudah berkembang. Teknologi yang semakin canggih dan kemudahan seseorang dalam berkomunikasi merupakan ciri dunia memasuki era global.  Pengetahuan tentang kebudayaan penting bagi peserta didik terutama ketika berada dalam era perubahan yang cepat. Kebudayaan mencakup semua warisan budaya manusia seperti pengetahuan, keterampilan, nilai-nilai, adat istiadat, kebiasaan, cita-cita, sikap, kepercayaan, dan cara berpikir suatu kelompok. Kebudayaan membentuk seseorang bertingkah laku kultural. Dengan berbekal tingkah laku yang kultural peserta didik bisa berfungsi atau diterima pada kelompok, dan bertingkah laku baik.

 Pendidikan budaya kearifan lokal merupakan upaya eksternal dalam menanggulangi perilaku peserta didik yang menyimpang. Faktor lain yang dianggap bisa meng-counter dampak negatif globalisasi adalah kecerdasan. Peserta didik yang memiliki kecerdasan yang tinggi, maka akan mudah memahami dan memecahkan suatu masalah. Kemampuan dalam memahami dan memecahkan masalah merupakan indikator yang membedakan orang yang cerdas dan kurang cerdas. 

Kearifan Lokal News
Pergerakan perubahan dunia yang cepat dan dahsyat menjadi penanda lahirnya era baru dalam tatanan kehidupan umat manusia. Era baru tersebut dikenal sebagai era kesejagatan (globalisasi) dengan segala capaian dan problematikanya. Capaian tertinggi pada era globalisasi ini dapat dilihat dari semakin terbuka dan cepatnya akses informasi dan komunikasi serta berbagai kemudahan fasilitas manusia sebagai hasil dari kemajuan sains dan teknologi (Blondel, 1998: 13).  Era informasi ini terjadi pada seluruh dunia, ketika umat manusia melakukan komunikasi global dengan perangkat teknologi komunikasi dan informasi. Kondisi ini disebutnya sebagai kondisi menuju zaman “budaya tunggal” (mono culture) sejagad. Era informasi ini menjadi faktor utama pemicu perkembangan cepat peradaban modern. 

Proses mendunianya sistem kehidupan yang akan mengarahkan pada budaya tunggal sejagat sebagaimana paparan di atas, akan mengarahkan sistem kehidupan dunia seperti menjadi tanpa tapal batas (the borderless world) dengan berbagai bentuk penyeragaman. Fenomena riil yang terjadi dengan pesatnya proses globalisasi ini dengan lahirnya generasi gadget, suatu istilah yang digunakan untuk menandai munculnya era generasi millenial. Generasi millenial ini dimaksudkan sebagai generasi yang dalam kehidupannya menjadikan informasi beserta perangkatnya sebagai bagian yang selalu lekat dengan kehidupannya, bahkan tidak dapat dipisahkan dari kehidupannya dalam kondisi dan situasi apapun. John Naisbit (2002:25) menyebutnya sebagai era high tech high touch yang menjadikan berbagai alat high-technology menjadi bagian penting dalam kehidupannya. Budaya memiliki dimensi eksternal (seperti artifak, kelembagaan) dan representasi internal (misalnya nilai-nilai, sikap, keyakinan, gaya kognitif/afektif/sensorik) (Samovar & Porter, 2001: 33). 

Samovar & Porter,et.el, menyampaikan terdapat beberapa karakteristik budaya: pertama, budaya itu dipelajari; istilah enkulturasi menunjukkan aktivitas total pembelajaran budaya seseorang. Enkulturasi biasanya terjadi melalui interaksi, observasi, imitasi (peniruan); ke dua, budaya ditransmisikan dari generasi ke generasi; ke tiga, budaya berpusat pada simbol; ke empat, budaya selalu berubah; ke lima, budaya sebagai sistem terpadu; dan ke enam, budaya adalah adaptif. Meski dunia berkembang begitu pesat, tetapi pendidikan karakter berbasis kearifan lokal harus senantiasa diperkuat. Kearifan lokal sebagai kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah dan merupakan nilai-nilai yang diciptakan, dikembangkan dan dipertahankan dalam masyarakat lokal dan karena kemampuannya untuk bertahan serta menjadi pedoman hidup masyarakatnya. Kearifan lokal terbagi dalam bentuk tangible dan ingtangible, namun pada dasarnya keduanya mengandung nilai-nilai pesan moral yang sama bagi masyarakat. Karena itu program Pendidikan saat ini dengan ruhnya merdeka belajar tidak ada salahnya kita mampu memerdekakan siswa dalam belajar dengan memberikan peluang yang seluas-luasnya terhadap siswa untuk mempelajari lebih dalam lagi tentang kearifan lokal. Baik itu budaya, nilai-nilai moral adat istiadat yang merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus menerus dijadikan pegangan hidup. Hasil-hasil budaya kearifan lokal juga perlu mendapatkan tempat yang sama dan sejajar serta serata dengan budaya-budaya era modernisasi dalam tatatan era globalisasi, industry 4.0 serta era masyarakat 5.0. 

(dihimpun dari berbagai sumber: penulis adalah Guru SMP Negeri 11 Kota Jambi). 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar